Beropini #2: Book ≠ Nerd

photo of person holding a book

Kadang sedih deh, kalau ada orang lain yang menganggap para kutu buku atau orang yang sering baca buku sebagai makhluk dari spesies yang berbeda.

Padahal menurut saya baca buku itu sama saja dengan aktifitas lainnya. Hanya saja meluangkan sedikit waktu dari aktifitas utama, tapi worth it sih, karena dapat hiburan dan bonus ilmu juga (kalau bukunya berkualitas). Karena kalau baca buku, rasanya saya nggak berada di satu tempat saja. Saya bisa jalan-jalan dan keliling dunia tanpa bayar ongkos mahal.

Jadi kenapa sih, orang yang sering baca buku sering dianggap..beda dari yang lain?

(Warning: Sekali lagi ini hanya opini dari sudut pandang saya saja :’D)

Kalau dari yang saya perhatikan, harga buku di Indonesia itu relatif mahal dibandingkan negara lainnya. Jadi otomatis orang-orang yang bisa beli buku pun dianggap berduit. Dan fasilitas bacaan mungkin juga kurang sih. Walaupun jaman sekarang banyak perpustakaan daerah maupun taman bacaan. Tapi kalau saya bandingkan harga buku Indonesia dengan harga negara lain, perbandingannya lumayan besar juga.

Perbandingan harga buku To Kill a Mockingbird

Indonesia (Gramedia): Rp 179.000

Amerika (Amazon, versi paperback): $7,19 = Rp. 103.640

India (Amazon India, paperback): 267 Rupee = Rp 51.913

:’)

Kok bisa di India murah banget? Saya kurang tahu pastinya. Sempat riset sedikit sih, dan ketemunya karena pajak buku di India itu rendah (jadi kepingin belanja buku di India).

Alasan lainnya mungkin ialah minat baca yang masih rendah. Sebetulnya, saya juga sepertinya nggak akan minat baca buku kalau bukan karena orangtua saya yang mengajarkan. Saya bersyukur orangtua saya termasuk yang hobi suka membeli buku (apalagi diskon). Jadi di rumah saya terbiasa ada berbagai macam buku dengan berbagai genre dan bentuk, Ayah saya juga sering mengoleksi Kindle atau E-Book yang gratis atau di diskon menjadi sangat murah. Dan kami sekeluarga punya aplikasi ipusnas di ponsel masing-masing.

Jadi sebetulnya agak bingung juga kalau mau bilang fasilitas bacaan di Indonesia itu sedikit. Karena sekurang-kurangnya, fasilitas baca itu ‘ada’. Cuma mungkin banyak yang lebih memilih untuk memanfaatkan perpustakaan buat internetan dan sebagainya. Tempatnya enak sih, ber-AC :v Sebenarnya saya kurang puas dengan fasilitas bacaan di tempat saya tinggal. Gedungnya bagus dan bersih, bukunya juga disortir yang bagus-bagus, namun… koleksinya sedikit. Bahkan komik pun nggak ada.

Jadiii, dengan rendahnya minat baca, mahalnya harga buku, dan (mungkin) minimnya fasilitas bacaan di Indonesia, otomatis para peminat buku atau kutu buku dianggap berbeda. Mungkin mereka dianggap sebagai orang yg pintar, atau kalau di dunia anak-anak dan remaja dianggap sebagai murid-murid berkacamata yang duduk di bagian paling depan kelas dan dapat ranking 1.

Kebanyakan orang sering menghubungkan buku dengan ilmu pengetahuan atau wawasan. Saya akui sih, bisa jadi orang yang suka baca buku itu lebih seru diajak ngobrol dibandingkan orang yang jarang baca buku (mungkin ya…mungkin). Tapi nggak menjadi pengukur wawasan seseorang juga dong. Saya menolak anggapan buku sebagai simbol kepintaran. Mau pinter nggak pinter juga yang memetik manfaat dari baca buku toh diri sendiri kok..

Sebenarnya saya masih ingin menulis banyak hal lagi yang berhubungan tentang minat baca dan ide-ide untuk menaikkan minat bacaan. Tapi rasanya sedikit bosan karena saya sering membuat ide yang berhubungan dengan perpustakaan serta minat baca di KBQT. Jadi sepertinya saya sudahi dulu di sini saja.

– Sofia

9 Juni 2021 / 2021 年 6 月 19 日

(Jujur saya juga kadang malas baca buku kalau sedang nggak mood. Entah kenapa, malas mikir saja. Tapi orangtua saya selalu mengajarkan kalau membaca buku itu dianggap seperti makanan sehari-hari. Jadi baca buku ya karena perlu. *Ekhem, mirip dengan tulisan terakhir saya yang tentang berkarya karena keinginan deh :vvv’

Leave a Reply